Akbar Buchari, Sukses Karena Keterpaksaan
Meninggalnya sang ayah memaksa Akbar Buchari harus belajar bisnis otobus sejak berusia 10 tahun. Teruji setelah ditempa berbagai kendala berat: mulai konflik bersenjata hingga tsunami.
M. DINARSA KURNIAWAN, Medan
Dialah Akbar Buchari, salah seorang pengusaha muda sukses di Sumatera Utara (Sumut)."Saya baru saja dari lapangan golf, lalu langsung ke sini. Kebetulan tempat ini dekat dengan rumah saya," ujar lelaki kelahiran Medan, 25 November 25 tahun lalu itu.
Penampilannya saat itu tak berbeda dengan anak-anak muda lain yang sedang nongkrong di tempat tersebut. Padahal, di luar penampilannya itu, Akbar saat ini sudah menjabat komisaris Kurnia Group yang bergerak di bidang transportasi. Kurnia adalah perusahaan otobus (PO) yang melayani rute Sumut sampai ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Perusahaan yang diwarisi Akbar dari ayahnya itu sekarang memiliki armada 250 bus.
Selain itu, sejak 2008 bisnisnya melebar dengan berekspansi di bidang perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Blang Seunong, Aceh Timur. Jumlah lahan yang dimiliki mencapai enam ribu hektare. Bukan hanya itu, Akbar juga melebarkan sayap dengan membuka sebuah hotel bintang tiga di Medan yang diberi nama Hotel Saka. Hotel yang berlokasi di Jalan Gagak Hitam itu akan beroperasi dalam waktu dekat."
"Pemikirannya, banyak penumpang bus saya dari Aceh kesulitan mencari hotel ketika tiba di Medan," urainya. "Jadi, mengapa saya tidak bikin hotel sekalian. Nanti bisa di-bundling sama tiket busnya," sambungnya.
Di luar bisnis keluarga, dia tengah mengembangkan bisnis sendiri. Bersama beberapa kawan pebisnis muda, Akbar masuk ke bisnis properti. Dia mengatakan, bisnis di bidang realestat tengah berkembang pesat di ibu kota Sumut itu. Dibandingkan dengan lelaki seumurnya, Akbar jelas bisa dibilang telah meraih kesuksesan. Namun, sejatinya dia tak bermaksud menjadi pengendali bisnis keluarga di usianya yang masih relatif muda itu.
Keadaanlah yang memaksanya demikian. Semua diawali pada 1997, ketika ayahnya, Buchari Usman, menjadi salah satu korban kecelakaan pesawat Garuda Indonesia, GA-152 di Desa Buah Nabar, Kab. Deli Serdang (sekitar 32 km dari Bandara Polonia, Medan)."Mungkin kalau ayah masih hidup, saya sekarang baru lulus S-2 dan baru belajar bisnis. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu," ucap sarjana hukum dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Medan, itu.
Saat kecelakaan yang menimpa ayahnya itu terjadi, dia baru berumur sepuluh tahun. PO Kurnia pun untuk sementara berada dalam kendali sang paman. Baru pada 2004, saat duduk di bangku SMA, Akbar bergabung untuk membantu menjalankan bisnis keluarganya itu. Tak langsung mengurusi manajemen perusahaan, dia menjadi mekanik terlebih dulu. Sang ayah berpesan, pengusaha transportasi memang harus mengerti mesin. Sebab, itu adalah inti bisnis tersebut.
Akbar menceritakan, kala itu, sepulang dari sekolah, dia langsung meluncur ke pangkalan bus dan membantu para mekanik. Tugas itu tak dirasakannya sebagai beban. Selain harus menjalankan amanat ayahnya, Akbar suka mengutak-atik mesin karena dikenalkan oleh sang ayah sejak masih balita.
Oleh keluarga, Akbar memang disiapkan untuk menggantikan tugas ayahnya sebagai pemimpin perusahaan. Yakni, berperan sebagai pengambil keputusan karena dia anak pertama dari dua bersaudara. Ujian lain yang menerpa adalah kondisi keamanan NAD yang sempat kritis karena terjadi konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI.
Akbar mengatakan, pada medio 2000, perusahaan yang dijalankannya tak luput dari intimidasi sejumlah oknum. Bahkan, banyak bus PO Kurnia yang dibakar. "Ada sekitar 20 bus yang dibakar. Tapi, sampai sekarang tidak jelas siapa yang membakar. Kami hanya tahu itu ulah oknum-oknum yang tidak jelas," ungkapnya.
Walau kondisi demikian kritis, sebagian bus yang kondisinya baik tetap melayani rute Medan-Banda Aceh. Ketika provinsi paling barat Indonesia itu dihantam amuk tsunami, PO Kurnia juga tak luput dari bencana.
Akbar mengisahkan, kala tsunami menghunjam Serambi Makkah, sekitar 50 bus di pool Banda Aceh terkena dampaknya. Pagar pool juga terseret arus sampai ke jalan raya.
Di tengah kondisi seperti itu, Akbar harus pintar-pintar memutar otak. Dia harus mengatur anggaran dengan cermat. Bahkan, membangkitkan semangat para kru bus. Karena terdesak keadaan ketika itu, di pool bus sampai dibangun dapur umum.
Namun, tsunami justru menjadi semacam blessing in disguise alias berkah tersamar. Sebab, setelah gelombang itu pergi dan kondisi berangsur-angsur normal, bisnisnya semakin terangkat karena banyak orang yang mengunjungi Aceh.
Menurut Akbar, krisis dan ujian yang silih berganti menerpa usahanya adalah sebuah ujian yang harus dilalui. Kerikil-kerikil tajam itulah yang turut membuatnya menjadi pebisnis tangguh.
Kini, Akbar tentu tak perlu terlalu bersusah payah memikirkan bisnisnya karena sudah berjalan dengan baik. Hanya ketika kehadirannya dibutuhkan, dirinya turun tangan langsung. Kegiatan di luar bisnis banyak diisi dengan berorganisasi dan memuaskan hobi di bidang olahraga. Akbar tercatat sebagai wakil ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Himpi) Sumut, ketua Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) Pengkot Medan, dan ketua komisi roda empat Ikatan Mobil Indonesia. Akbar juga dikenal sebagai pereli. Sejumlah event reli nasional diikuti driver Mitsubishi Evolution 9 itu.
Pada 2006, dia meraih juara nasional di kelas pemula. "Kalau tidak ada urusan bisnis atau event reli, saya biasa melahap rute pegunungan di sekitar Medan," papar penggemar mountain bike (MTB) itu. (*/c2/ttg)
Thanks To JPNN.COM
0 Response to "Akbar Buchari, Sukses Karena Keterpaksaan"
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuai isi tulisan di atas.
Komentar Anda sangat berarti bagi perkembangan blog ini..
Terima Kasih :D