hafizfaturrahman.com

Hambatan?? Bukan kok!!

Di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat seorang anak laki-laki yang sangat berambisi menjadi seorang ilmuwan. Ambisinya terbentuk dari komik-komik bergenre sci-fi (science-fiction) yang diberi ayahnya sejak ia duduk di kelas 4 SD. Selain komik, ayahnya juga memberi tontonan film dengan genre yang sama guna membantu perkembangan otak si anak. Namun, masalah timbul pada saat Sigit, nama anak tersebut, berada di kelas 2 SMP.
Hari itu matahari bersinar sangat cerah. Kala itu Sigit tengah berada di depan gerbang sekolah menunggu mobil yang akan mengantarnya kembali ke rumah. Setelah 10 menit menunggu, mobil tersebut datang. Sigit pun masuk ke mobil.
“Maaf Mas Sigit. Di jalan tadi macet, jadi telat deh,” kata bang Ujang, supir keluarga Sigit. “Gak apa-apa kok pak,” balas Sigit. Bang Ujang pun langsung melajukan mobilnya di jalan yang memang ramai lancar sehingga mobil melaju tidak terlalu kencang. Sekitar 15 menit perjalanan, mobil di jalan tidak terlalu banyak dan membuat mobil bisa sedikit menambah kecepatannya.
Jalan menuju rumah Sigit banyak melewati pusat perbelanjaan dan taman sehingga banyak orang menyeberang jalan. Akibatnya pengguna kendaraan harus hati-hati agar tak terjadi kecelakaan. Namun, kehati-hatian Bang Ujang dikejutkan oleh seseorang yang menyeberang jalan secara tiba-tiba. Untuk menghindari kecelakaan, Bang Ujang langsung membanting setir mobil yang menyebabkan mobil Sigit menabrak sebuah pohon besar. Kepanikan terjadi di tempat itu. Sebagian orang-orang berteriak-teriak tidak jelas dan sebagian yang lain mencoba mengeluarkan Sigit dan Bang Ujang dari mobil yang rusak parah. Sigit dan Bang Ujang segera dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh beberapa orang yang baik hati menolong mereka.
Di rumah sakit, Sigit dan Bang Ujang langsung ditangani oleh dokter. Pihak rumah sakit segera menelepon ayahnya Sigit. Mendengar anaknya tertimpa kecelakaan, ayah Sigit langsung meninggalkan meeting yang sedang dipimpinnya dan bergegas ke rumah sakit tanpa lupa menjemput istrinya terlebih dahulu di rumah. Akhirnya mereka tiba di rumah sakit hanya dalam waktu 10 menit padahal jaraknya cukup jauh.
Setelah 4 jam menunggu hasil pemeriksaan, dokter pun keluar dengan wajah yang tidak mengenakkan. Benar saja, kabar buruk harus diterima Sigit. Kaki kanan Sigit patah dan harus diamputasi. Mendengar hal tersebut, tubuh ibu Sigit lemas dan terjatuh di pundak suaminya. Kabar yang lebih buruk datang dari Bang Ujang. Nyawa Bang Ujang tidak tertolong, ia meninggal dunia.
Sudah seminggu Sigit belum siuman dari tidur terpaksanya. Mungkin kalau ia siuman, ia langsung teriak atau bahkan menangis dengan sekeras-kerasnya karena melihat kaki kanannya yang sudah tidak ada. Akhirnya pada hari ke-10, Sigit bangun dengan senyuman dibibirnya melihat kedua orangtuanya ada disampingnya. Tapi senyuman itu hanya sesaat. Teriakan keras mengisi ruangan yang ditempatinya setelah ia sadar tidak bisa menggerakan kaki kanannya. Kedua orangtuanya memeluknya dengan tangisan di wajah mereka.
Tiga bulan dirawat di rumah sakit, Sigit akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah yang pastinya menggunakan kursi roda. Setelah beberapa hari, Sigit diperbolehkan masuk ke sekolah lagi. Namun karena memakai kursi roda, Sigit tidak mau masuk sekolah. Ia tidak ingin merepotkan semua orang akibat keadaannya. Akhirnya orangtua Sigit datang ke sekolah dan berdiskusi mencari solusi dari masalah tersebut. Kepala sekolah Sigit memberi solusi bagaimana kalau Sigit belajar di rumahnya dan setiap hari ada guru yang datang untuk mengajarkannya tapi dengan syarat uang bulanan (SPP) Sigit akan ditambah untuk ongkos transport guru yang datang ke rumah. Hal itu disebabkan karena kebijakan tersebut di luar dari anggaran sekolah yang sudah di tetapkan. Demi anak semata wayangnya, orangtua Sigit menerimanya.
Kebijakan yang ditetapkan kepala sekolah pun berjalan. Setiap hari ada 2-3 guru yang datang ke rumah Sigit untuk memberikan materi pelajaran. Akan tetapi, semangat Sigit untuk mengikuti pelajaran sangat kecil. Di pikirannya selalu timbul pertanyaan, “Apakah saya masih bisa menjadi seorang ilmuwan dengan kondisi seperti ini?.” Melihat anaknya selalu murung, orangtua Sigit meminta agar guru BK, Pak Solihin, datang ke rumah untuk memberi motivasi kepada Sigit. Keesokan harinya, Pak Solihin pun datang ke rumah Sigit. Ayah Sigit langsung mengantarkannya kepada Sigit yang kebetulan sedang termenung sendiri. Sigit pun menemui guru BK-nya. Ia menceritakan semua masalah yang sedang dihadapinya. Setelah mengerti masalah yang dihadapi Sigit, Pak Solihin segera memberikan pencerahan kepada Sigit.
Beliau berkata, “Sigit, ingat apa yang pernah bapak katakan di kelas waktu pertama kali kita bertemu. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Jika ada kemauan dan usaha, apapun yang kita inginkan pasti akan tercapai. Jadi, jangan hilangkan semangat kamu. Apalagi kamu mau menjadi seorang ilmuwan yang setiap detiknya harus berpikir dan berkonsentrasi. Masa’ ilmuwan gampang nyerah, gimana penelitiannya nanti, hancur dong. Haha.” Mendengar kata-kata Pak Solihin, semangat Sigit langsung berkobar kembali. “Terima kasih, Pak. Terima kasih telah membangkitkan semangat saya lagi,” kata Sigit dengan penuh semangat. Ayahnya pun lega melihat anaknya kembali seperti dulu lagi.
Tibalah saatnya Sigit menghadapi UN. Ujian untuk Sigit juga dilaksanakan di rumah dengan pengawasan ketat dari dua orang pengawas ujian. Ujian nasional dilewati Sigit dengan lancar dan baik. Hingga akhirnya ia lulus dengan nilai bagus yang mengantarkannya ke sebuah SMA unggulan di wilayah tempat tinggalnya. Tapi, lagi-lagi Sigit tidak mau datang ke sekolahnya dengan alasan yang sama. Hal itu membuat orangtuanya meminta ke sekolah untuk melakukan kebijakan yang sama seperti waktu di SMP. Sianya kini, sekolah tidak bisa menerima permintaan ayah Sigit. Kedua orangtua Sigit pun menjadi bingung harus melakukan apa lagi untuk anaknya. Hingga akhirnya, Sigit berubah pikiran. Ia sadar untuk dapat mencapai cita-citanya, haruslah dibumbui dengan usaha yang keras. Sigit pun kembali bersekolah. Ayah Sigit mencari seorang pengasuh untuk menemani Sigit selama di sekolah.
         Tiga tahun begitu cepat berlalu, kini tiba saatnya Sigit menghadapi UN SMA. Ujian nasional di lalui Sigit dengan lancar. Hingga akhirnya, Sigit berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Tak hanya lulus, Sigit juga mendapatkan beasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka dengan jurusan yang bisa membawanya menjadi seorang ilmuwan hebat. Sigit sangat bahagia dengan apa yang ia dapatkan sekarang. Ia berjanji pada dirinya sendiri tak akan pernah putus asa dan akan terus berusaha sampai gelar ilmuwan tersemat pada namanya.
“Cacat Jasmani Bukanlah Suatu Halangan Untuk Mencapai Kesuksesan, Karena Kunci Dari Kesuksesan Yang Sebenarnya Ialah NIAT, KEMAUAN, USAHA, dan DOA”

2 Response to "Hambatan?? Bukan kok!!"

  1. Menurut pandangan gue, hambatan atau bukan hambatan, itu cuma perspektif cara pandang aja sih.. misalnya klo hambatan yang ujungnya bisa nganterin lo ke ujung yang baik kenapa gak! ya kan?! yg bikin kita khawatir itu sebenernya bukan karena gede ato nggak hambatannya, tapi kita khawatir hasil ujungnya bakalan jadi buruk atau enggak. nah, klo kita masih percaya Tuhan, knapa jadi khawatir so, pikiran kita juga bakal jadi positif terhadap hambatan itu... kata orang sih, Tuhan itu kasih apa yang kita butuhkan untuk mncapai hal terbaik dalam hidup kita, bukan kasih apa yang kita inginkan....heee asik ya gue, hasil kesambet pohon toge!

    HF says:

    wess keren sob,, asalkan percaya Tuhan masih ama kita, urusan Insya Allah lancar,, sering2 aja kesambet tuh pohon toge, biar bener mulu.. haha #peace gan..

Post a Comment

Silakan berkomentar sesuai isi tulisan di atas.
Komentar Anda sangat berarti bagi perkembangan blog ini..
Terima Kasih :D

Terima Kasih Atas Kunjungannya - - Silahkan Datang Kembali
Bookmark blog ini (Ctrl+D) || Sewaktu-waktu mungkin dibutuhkan
Toko Online Gratis
HF corner Powered by Blogger