Kebahagiaan itu Hak Tiap Individu
Seorang
pemuda bernama Gilang kini tengah berusia 18 tahun dan bersiap untuk
melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Gilang merupakan anak kelahiran
Jakarta asli. Bapak serta ibunya lahir dan besar di kota metropolitan tersebut.
Biasanya, orangtua Gilang membatasi anaknya harus bersekolah di dalam kota.
Namun kali ini, Gilang diberi kesempatan memilih perguruan tinggi di manapun
yang ia mau bahkan ke luar negri sekalipun. Meski sebenarnya, orangtuanya belum
siap melepas Gilang sendirian karena takut akan pergaulan bebas yang kini marak
menjangkit di kalangan pemuda. Keluarga Gilang memang tergolong keluarga
berpenghasilan ke atas sehingga tak membatasi anaknya untuk sekolah di perguruan
tinggi dalam negeri saja.
Setelah
berpikir selama tiga hari, Gilang akhirnya memberi keputusan. Dalam acara
keluarga yang dihadiri seluruh anggota keluarga besar, Gilang mengutarakan
kemauannya untuk bersekolah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang
terletak di Bandung. PTN tersebut bergerak khusus dalam bidang teknologi. Menurut
Gilang, PTN yang ia pilih mampu mengantarkannya menjadi seorang insinyur yang
hebat. Cita-citanya memang menjadi insinyur dalam bidang perancangan bangunan.
Oleh karena itu, ia memilih fakultas teknil sipil di PTN yang ia pilih.
Mendengar kata “Bandung”, orangtua Gilang terdiam sejenak seraya berpikir.
Mereka ternyata belum siap untuk melepas anak terakhirnya.
“Coba
pikirkan sekali lagi, Lang. Apa gak mungkin kalau di Jakarta saja?” tanya
ibunda Gilang seraya membujuk.
Tibalah
saat memilih jurusan untuk perguruan tinggi. Gilang menempatkan teknik sipil di
sebuah PTN di Bandung di tempat pertama dan teknik sipil di sebuah PTN di
Depok. Pilihan jurusan yang kedua merupakan pilihan dari kedua orangtuanya yang
memang belum menginginkan anaknya untuk berada jauh dari rumahnya di Jakarta.
Gilang pun tak keberatan karena jurusan yang dipilihkan untuknya sama dengan
yang ia pilih dan PTN-nya pun terbilang bagus dan bermutu. Namun, ia tetap
menginginkan namanya masuk ke PTN pilihannya.
Ujian
masuk PTN dilakukan satu bulan lagi. Selama menunggu waktu tes, ia telah
mengikuti bimbel intensif selama sebulan penuh selama 5 jam per harinya tanpa
hari libur. Hal itu dilakukan karena ia tahu PTN yang dipilihnya merupakan PTN
favorit yang peminatnya mencapai seribu lebih. Ia pun tak pernah merasa lelah
melakukan hal tersebut karena ia paham semua yang dilakukannya demi kebaikan masa
depannya.
Satu
bulan berselang, tibalah Gilang mengikuti ujian masuk PTN. Dengan penuh
semangat ia mendatangi tempat tes yang tentunya diantar menggunakan mobil oleh
supirnya. Tampak muka-muka tegang di depan ruang ujian. Lima belas menit
setelahnya, ujian akhirnya dimulai. Setelah beberapa jam kemudian, Gilang pun
keluar ruangan dengan wajah puas dan langsung disambut oleh kedua orangtuanya.
Pengumuman
tes direncanakan dilakukan sebulan kemudian. Untuk mengisi waktu tersebut,
Gilang diarahkan untuk mengikuti berbagai tes masuk Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) di Jakarta untuk menjadi cadangan bila Gilang tak diterima melalui tes
masuk PTN. Namun, Gilang sepertinya malas untuk mengikuti tes-tes yang disuruh
oleh orangtuanya karena dari kecil ia sudah bertekad tak akan pernah mengikuti
kuliah di PTS dalam negeri. Alasannya karena kuliah di PTS itu akan memakan
biaya banyak. Memang jika dilihat dari penghasilan orangtuanya yang hampir
mendapat 25 juta per bulannya, mungkin biaya tak menjadi masalah yang besar.
Namun, menurut Gilang, jika bisa yang lebih murah kenapa harus yang mahal.
Keinginan untuk tidak memakai uang orangtua sudah ditekadkan dalam hatinya
sejak kecil saat melihat banyak anak kecil yang mencari uang dengan mengamen
atau memulung.
Sebulan
kemudian pengumuman tes dikeluarkan. Pengumuman dilakukan pada jam 00.00,
sehingga Gilang memutuskan untuk tidur dan tetap duduk tenang di depan komputer
karena pengumuman dilakukan melalui website.
Detik-detik menuju jam 00 tepat, detak jantung Gilang semakin kencang
debarannya. Dan akhirnya “SELAMAT!” kata
pertama yang dilihat Gilang dan langsung membuatnya lompat kegirangan. Kabar
ini langsung diberitahukan kepada orangtuanya yang ternyata juga tak tidur
menunggu hasil tes anak bungsunya. Mendengar kabar tersebut, orangtua Gilang
senang bukan main meski mereka tahu akan berada jauh dari Gilang untuk waktu
yang tidak sebentar.
Saat
yang dinantikan Gilang pun tiba. Pagi buta, Gilang dan kedua orangtuanya sudah
siap untuk berangkat ke Bandung mengantar Gilang menuju gerbang masa depannya.
Namun sebelum masuk mobil, tiba-tiba saja ibunda Gilang memeluk anaknya dan
menangis kencang.
“Lang,
kamu yakin mau kesana. Gak bisa diganti lagi?? Hu..hu..hu..,” tanya ibunda
Gilang sambil menangis.
“Loh
kok, Ma. Bukannya waktu itu udah setuju?” tanya Gilang balik.
“Iya,
Ma. Waktu itu kan semua udah setuju kalau Gilang kuliah di Bandung.” tambah
ayah Gilang.
“Tapi..
tapi mama belum siap kehilangan kamu. Hu..hu..,” jawab ibunda Gilang.
Setelah
beberapa saat suasana hening, akhirnya Gilang mengatakan kalimat yang tak diduga
sebelumnya.
“Oke,
sekarang mama maunya aku kuliah dimana? Aku ikut aja deh, asal mama bahagia.”
ujar Gilang yang membuat kaget semua saudara, tak terkecuali ayah Gilang.
“Gilang,
kamu ngomong apa sih!!” ucap ayah Gilang cepat sesaat mendengar perkataan
anaknya.
“Bener,
Pa. Daripada pas Gilang pergi mama disini nangis terus, mending Gilang gak jadi
ke Bandung.” terang Gilang. Perkataan ini yang akhirnya membuat impian Gilang
untuk kuliah di Bandung pun kandas. Gilang menuruti kemauan ibundanya agar
berkuliah tidak jauh dari Jakarta. Ujian gelombang terakhir dari sebuah
universitas swasta yang juga cukup terkenal pun diikutinya. Pilihannya tetap
pada teknil sipil dan perencanaan.
Gilang
akhirnya masuk perguruan tinggi swasta yang terletak di kawasan Depok tersebut.
Meski tetap bukan di Jakarta, kali ini ibundanya lebih bisa menerima.
Keseharian Gilang diisi seperti layaknya mahasiswa. Gilang menjalaninya dengan
sangat tekun dan giat. Tak terlihat sedikitpun kekecewaan karena tak jadi
berkuliah di Bandung. Semua itu dilakukannya demi ibunda tercinta.
Empat
tahun kemudian, Gilang akhirnya menyelesaikan studi sarjananya. Orangtua dan
kakak Gilang jelas senang sekali. Mereka semua ikut mengantar Gilang ke tempat
wisudanya. Ada 4000 lebih wisudawan yang di wisuda bersama Gilang. Semua tampak
senang sekali. Mereka bercerita, bercanda, dan saling memberi selamat bersama
orangtua dan teman-teman. Namun, tidak seperti Gilang. Tak ada semangat yang
berlebih tercurah dari raut mukanya. Entah mengapa, gelar sarjana yang telah
didapatnya seakan tak berarti apa-apa baginya. Di dalam perjalanan, Gilang
seakan berpura-pura senang akan sarjananya. Namun, perasaan Gilang tersebut
tidak dirasakan keluarganya kecuali ayahnya. Ayahnya tahu bahwa anak
terakhirnya sangat ingin sekali mendapat gelar sarjana dari PTN yang ia inginkan.
Tapi apa yang bisa dilakukan ayahnya kini hanyalah menyemangati Gilang bahwa
ini semua adalah anugerah yang terbaik dari Yang Mahakuasa. Gilang pun hanya
terdiam mendengar kata-kata ayahnya.---
“Setiap Orang Berhak Tentukan Kisah Hidupnya Sendiri, Jangan Pernah Memaksanya!!!”
0 Response to "Kebahagiaan itu Hak Tiap Individu"
Post a Comment
Silakan berkomentar sesuai isi tulisan di atas.
Komentar Anda sangat berarti bagi perkembangan blog ini..
Terima Kasih :D